OLEH : MEL SOFYAN
SAYA adalah seorang ayah dari 12 orang anak. Sembilan di antaranya telah menyelesaikan pendidikan tinggi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tiga lainnya masih menempuh jenjang sekolah. Pencapaian ini tentu bukan hal yang mudah. Puluhan tahun saya habiskan untuk berdagang dari satu pasar ke pasar lain, dari satu daerah ke daerah lainnya. Semua saya lakukan demi satu cita-cita: memastikan anak-anak saya mendapatkan pendidikan terbaik.
Saya, seperti jutaan orang tua lainnya di negeri ini, meyakini bahwa pendidikan formal adalah jalan utama untuk mengubah nasib dan meningkatkan kualitas hidup. Saya selalu mendorong anak-anak saya agar belajar dengan sungguh-sungguh dan menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Saya pun rela berkorban—waktu, tenaga, dan kenyamanan pribadi—demi membiayai kebutuhan pendidikan mereka.
Namun, realitas yang saya hadapi hari ini sungguh menyakitkan. Anak-anak saya yang telah meraih gelar sarjana, sebagian besar hanya menjadi pekerja biasa, bahkan ada yang belum bekerja. Mereka hidup dalam sistem yang tidak mereka kendalikan. Mereka digaji oleh pihak lain, jam kerjanya ditentukan pihak lain, dan nasib pekerjaannya pun bergantung pada keputusan orang lain. Dengan kata lain, mereka hidup sebagai budak sistem.
JUTAAN SARJANA : BEKERJA DIBAWAH BAYANG-BAYANG SISTEM
Apa yang saya alami bukanlah kasus yang langka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023 mencatat bahwa lebih dari 740 ribu lulusan perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Jumlah ini belum termasuk jutaan sarjana lainnya yang bekerja di sektor informal, atau menempati posisi kerja yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.
Laporan McKinsey Global Institute bahkan menunjukkan bahwa 43% keterampilan yang diajarkan di institusi pendidikan tidak lagi relevan dengan kebutuhan industri saat ini dan masa depan. Hal ini menandakan bahwa sistem pendidikan kita belum berhasil menjawab tantangan zaman.
SISTEM YANG MENCETAK PEKERJA, BUKAN PEMIMPIN
Saya mulai mempertanyakan: Apakah saya telah salah menyekolahkan anak-anak saya? Ataukah sistem pendidikan kita memang dirancang untuk mencetak generasi yang patuh, bukan generasi yang memimpin?
Kurikulum pendidikan kita terlalu fokus pada aspek kognitif dan pencapaian nilai akademik, namun lalai dalam membentuk karakter, kemandirian, keberanian mengambil risiko, dan jiwa kepemimpinan. Kita terlalu lama mendidik anak-anak untuk menjadi pencari kerja, bukan pencipta lapangan kerja. Kita mengarahkan mereka menjadi roda penggerak, bukan pengendali mesin kehidupan.
PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN, BUKAN MEMBELENGGU
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Ia harus menjadi sarana pembentukan manusia yang merdeka berpikir, berani bertindak, dan siap menghadapi dinamika kehidupan. Pendidikan tidak boleh berhenti di ruang kelas dan gelar sarjana. Ia harus meresap ke dalam jiwa: mengajarkan anak-anak untuk bermimpi, berpikir kritis, mencipta solusi, dan mengambil peran dalam masyarakat.
Sebagai orang tua, saya pun belajar dari perjalanan ini. Saya menyadari bahwa niat baik menyekolahkan anak setinggi-tingginya tidaklah cukup. Kita harus mulai menanamkan nilai kemandirian, ketangguhan mental, dan kreativitas sejak dini. Kita harus mendidik anak-anak kita agar tidak hanya mencari pekerjaan, tapi mampu menciptakan masa depan mereka sendiri.
SERUAN UNTUK PERUBAHAN
Kepada para pengambil kebijakan pendidikan, saya ingin menyampaikan seruan ini: sudah waktunya kita melakukan perubahan radikal dalam sistem pendidikan kita. Dunia telah berubah, dan kurikulum kita pun harus berubah. Kita membutuhkan sistem yang adaptif, kontekstual, dan berpihak pada potensi manusia – bukan hanya pada angka dan ijazah.
Saya menulis refleksi ini bukan karena menyesali keputusan masa lalu, tetapi karena ingin generasi berikutnya tidak mengalami hal yang sama. Saya ingin pendidikan Indonesia benar-benar mencetak manusia merdeka, bukan sekadar lulusan yang menggantungkan hidup pada sistem yang rapuh.
Mari kita bangun sistem pendidikan yang melahirkan pemilik masa depan, bukan pengikut yang kehilangan arah. (***/rel)
(PENULIS : MEL SOFYAN adalah Ketua Departemen Kelembagaan & Keanggotaan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Keluarga Minangkabau (DPP IKM), kini tinggal di Jakarta)