POSMETRONEWS.COM – Di tengah deru kota yang kian bising dan suhu bumi yang terus naik, pertanyaan sederhana sering mengusik benak: apa arti perbankan jika hanya menghitung laba tanpa memikirkan bumi? Pertanyaan ini semakin relevan ketika laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2023 menunjukkan bahwa Asia Tenggara adalah salah satu kawasan paling rentan terdampak krisis iklim.
Di sisi lain, dunia bisnis, termasuk perbankan, menjadi salah satu aktor penting yang bisa menentukan arah perubahan. CIMB Niaga, yang tahun ini merayakan 70 tahun perjalanan, menjawab tantangan itu dengan menegaskan komitmennya terhadap sustainability—sebuah konsep yang bukan lagi tren, melainkan kebutuhan.
Dari Profit ke Purpose
Selama puluhan tahun, dunia perbankan identik dengan keuntungan jangka pendek: bunga kredit, pertumbuhan aset, laba bersih. Namun, paradigma itu bergeser. Generasi muda—yang kini mendominasi pangsa nasabah—menuntut lebih. Mereka ingin bertransaksi dengan lembaga yang punya keberpihakan pada isu sosial dan lingkungan.
“Perbankan tidak bisa lagi hanya bicara soal return. Mereka harus bicara soal dampak,” ujar Prof. Rudi Hartono, pakar ekonomi berkelanjutan dari Universitas Indonesia.
CIMB Niaga merespons dengan mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam strategi bisnis. Artinya, keputusan kredit, investasi, dan operasional tidak hanya dinilai dari sisi finansial, tetapi juga dari kontribusi pada keberlanjutan.
Jejak Hijau dalam Pembiayaan
Salah satu wujud nyata adalah penyaluran kredit hijau. Data 2024 menunjukkan, CIMB Niaga telah mengalokasikan lebih dari Rp10 triliun untuk proyek energi terbarukan: mulai dari pembangkit listrik tenaga surya, farm angin, hingga infrastruktur transportasi ramah lingkungan.
Bank ini juga memperketat kebijakan kredit terhadap proyek yang berpotensi merusak lingkungan, seperti pembangkit listrik berbasis batu bara. “Kami tidak bisa menutup mata pada krisis iklim. Setiap rupiah kredit adalah pilihan moral,” kata Lani Darmawan, Presiden Direktur CIMB Niaga.
Langkah ini sejalan dengan komitmen global Net Zero by 2050, di mana sektor keuangan diharapkan memainkan peran penting dalam transisi energi bersih.
Sustainability Bukan CSR
Banyak orang masih menganggap keberlanjutan sebagai program CSR—sekadar penanaman pohon atau donasi sosial. CIMB Niaga menegaskan, sustainability adalah inti strategi bisnis, bukan aktivitas tambahan.
Selain pembiayaan hijau, bank juga mengurangi jejak karbon operasional. Gedung kantor pusat dan cabang mulai menggunakan energi terbarukan, digitalisasi mengurangi konsumsi kertas, dan kampanye internal mendorong karyawan menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.
Di sisi sosial, program Kejar Mimpi hadir bukan sekadar beasiswa, tetapi juga wadah edukasi literasi keuangan, kesetaraan gender, hingga kesadaran lingkungan di kalangan muda.
Pendidikan dan Generasi Muda
Mengapa generasi muda begitu penting dalam narasi keberlanjutan? Karena merekalah yang akan mewarisi bumi. CIMB Niaga sadar betul, investasi terbesar bukan hanya pada proyek energi, tetapi pada kesadaran generasi mendatang.
Melalui Kejar Mimpi, ribuan mahasiswa diajak memahami konsep keuangan berkelanjutan. Workshop digelar di kampus-kampus, mempertemukan praktisi dengan mahasiswa untuk berdiskusi tentang green banking, circular economy, dan social entrepreneurship.
“Saya baru sadar bahwa menabung di bank juga bisa jadi pilihan etis. Kalau banknya mendanai proyek hijau, berarti uang saya ikut memberi dampak,” kata Ayu Rahma, mahasiswi Universitas Brawijaya yang mengikuti salah satu workshop.
Warisan 70 Tahun
Jika menengok ke belakang, perjalanan CIMB Niaga selama tujuh dekade adalah kisah tentang adaptasi. Dari pionir ATM pertama di Indonesia pada 1987 hingga kini menjadi pelopor digital banking, inovasi selalu menjadi benang merah.
Kini, inovasi itu bergeser ke arah yang lebih mendasar: keberlanjutan. Di usia 70 tahun, bank ini menegaskan bahwa kontribusi terbesar bukan hanya pada angka laba, tetapi pada warisan untuk bumi dan generasi berikutnya.
“Hijau adalah warisan. Kalau hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa keberlanjutan, itu seperti membangun rumah di atas pasir,” ujar Prof. Rudi.
Tantangan yang Tidak Mudah
Tentu, jalan menuju perbankan berkelanjutan tidak mulus. Masih ada dilema antara keuntungan jangka pendek dan dampak jangka panjang. Investasi pada energi terbarukan misalnya, membutuhkan waktu lebih lama untuk balik modal dibanding energi fosil.
Namun, kesadaran global dan regulasi semakin menguatkan arah perubahan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penerapan taksonomi hijau, sementara Bank Indonesia menargetkan inklusi keuangan yang mendukung sustainability.
“CIMB Niaga tidak sendirian. Ini gerakan kolektif. Tetapi kami memilih berada di garis depan,” tegas Lani.
Refleksi: Apa Makna Bank di Abad 21?
Pada akhirnya, pertanyaan tentang sustainability bukan hanya tentang bank, melainkan tentang peran manusia di abad 21. Apakah kita ingin meninggalkan bumi yang lebih baik, atau justru mewariskan krisis?
Dalam konteks itu, CIMB Niaga mencoba menunjukkan bahwa bank bisa menjadi agen perubahan. Bahwa laba tidak harus bertentangan dengan keberlanjutan. Bahwa pertumbuhan ekonomi bisa berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan.
Hijau Sebagai Kompas
Tujuh puluh tahun adalah usia yang matang untuk refleksi. CIMB Niaga telah melalui pasang surut ekonomi, krisis moneter, revolusi digital. Kini, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa setiap langkah ke depan sejalan dengan kompas hijau: keberlanjutan.
“Warisan terbaik yang bisa ditinggalkan bank bukanlah gedung tinggi atau laporan laba, melainkan bumi yang lebih layak huni,” kata Ayu, mahasiswi tadi.
Dan mungkin, di situlah letak kontribusi sejati CIMB Niaga untuk Indonesia: menjadikan perbankan bukan hanya mesin ekonomi, tetapi juga jembatan menuju masa depan yang lebih hijau, adil, dan berkelanjutan. © RED/PRIYONO S.